Wednesday 18 January 2012

Bea Cukai Muatan Kapal

Bea Dan Cukai Sesuai dengan UU Republik Indonesia No. 17/2006 Tanggal 15 Nopember 2006 Tentang Perubahan UU Republik Indonesia No. 10/1995 tentang Kepabeanan. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang disingkat DJBC, yang dalam dunia perdagangan sering disebut Bea dan Cukai atau Customs (Kepabeanan) yang berada di bawah Departemen Keuangan mengatur dan mengawasi kepabeanan di seluruh wilayah Indonesia. Jadi, secara umum, tugas instansi Bea dan Cukai adalah melakukan pengawasan atas lalu-lintas barang impor, ekspor, barang tertentu, dan orang yang ada kaitannya dengan barang, serta mengenakan pungutan negara berupa Bea Masuk dan Pungutan Dalam Rangka Impor atau dikenal dengan PDRI, seperti pungutan PPN, PPH, PPN BM, dan lain-lain nya, terhadap barang atau muatan yang masuk keluar Daerah Pabean Indonesia.Dasar hukum dan peraturan bea-cukai pada waktu kedatangan dan keberangkatan kapal.

Dasar hukum dan peraturan bea-cukai pada waktu kedatangan dan keberangkatan kapal dan terhadap barang impor maupun ekspor umumnya hampir sama di setiap negara yang dikunjungi oleh kapal. Kalaupun terdapat perbedaan mungkin hanya berkaitan dengan prosedur dan penyelesaian dokumen. Tapi di banyak negara telah ditetapkan hukum dan peraturan dalam pelaksanaan impor dan ekspor yang harus diturut dalam
penyelesaian dokumen bea-cukai (custom clearance).

Pejabat DJBC dalam pelaksanaan tugasnya berdasarkan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 Tanggal 15 Nopember 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 10 Tahun 1995 Tanggal 30 Desember 1995 Tentang Kepabeanan, dan Ketentuan peraturan lain yang pelaksanaanya dibebankan kepada DJBC, pejabat Bea dan Cukai (Customs) berwenang melakukan pemeriksaan sarana pengangkut, untuk sarana pengangkut laut disebut kapal, agar pelaksanaan pemeriksaan kapal menjadi optimal, berhasil guna dan berdaya guna diperlukan pengetahuan tentang pemahaman kapal, cara pemeriksaan yang sistematis, manajemen informasi, kesehatan dan keselamatan kerja, dan penggunaan dan perawatan peralatan.

Adanya Instansi dan Perusahaan di Pelabuhan merupakan unsur yang dipersyaratkan dalam penanganan kapal, pelabuhan merupakan sistem terpadu yang berfungsi untuk melayani kapal dan berbagai transaksi yang berlangsung di pelabuhan. Dalam sistem tersebut terdapat berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang bekerja saling mendukung untuk melayani kapal serta muatannya.

Ada instansi pengelola pelabuhan yang sangat berperan, yaitu administrator pelabuhan dan PT Pelabuhan Indonesia. Administrator pelabuhan mempunyai tugas memadukan rencana operasional dalam mempergunakan tambatan/gudang dan fasilitas pelabuhan lainnya. Administrator pelabuhan juga mengendalikan kelancaran anis kapal dan barang dan mengadakan pembinaan tenaga kerja bongkar muat (TKBM), serta mengkoordinir instansi yang ada dalam pelabuhan.

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) menyediakan dan mengusahakan fasilitas pelabuhan yang memungkinkan kapal dapat berlabuh dengan aman dan dapat melakukan kegiatan bongkar/muat, serta menetapkan alokasi tempat tambatan dan waktu kapal bertambat dan menetapkan target produksi kegiatan bongkar/muat. Selain itu, Pelindo juga mengawasi pelaksanaan pemakaian tambatan sesuai dengan perencanaan sebelumnya.

Sesuai SK Menteri Perhubungan nomor KM.53 tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional, dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa untuk mewujudkan peran pelabuhan, pelabuhan melaksanakan fungsi Pemerintahan meliputi pelaksana fungsi keselamatan pelayaran, fungsi bea dan cukai, pelaksana fungsi imigrasi, pelaksana fungsi karantina, dan pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban. Pengusahaan jasa kepelabuhanan meliputi usaha pokok yang meliputi pelayanan kapal, barang, dan penumpang, dan usaha penunjang yang meliputi persewaan gudang, lahan, dan lain-lain. Adapun instansi pemerintah dan perusahaan swasta yang berperan di pelabuhan adalah sebagai berikut Instansi Pemerintah, dan Administrator Pelabuhan.

Monday 16 January 2012

Instansi Dan Perusahaan Di Pelabuhan

Instansi Dan Perusahaan Di Pelabuhan sangat memegang peranan yang penting karena Pelabuhan merupakan sistem terpadu yang berfungsi untuk melayani kapal dan berbagai transaksi yang berlangsung di pelabuhan. Dalam sistem tersebut terdapat berbagai instansi pemerintah maupun perusahaan swasta yang bekerja saling mendukung untuk melayani kapal serta muatannya. Ada instansi pengelola pelabuhan yang sangat berperan, yaitu administrator pelabuhan dan PT Pelabuhan Indonesia. Administrator pelabuhan mempunyai tugas memadukan rencana operasional dalam mempergunakan tambatan/gudang dan fasilitas pelabuhan lainnya. Administrator pelabuhan juga mengendalikan kelancaran arus kapal dan barang dan mengadakan pembinaan tenaga kerja bongkar muat (TKBM), serta mengkoordinir instansi yang ada dalam pelabuhan.

PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) menyediakan dan mengusahakan fasilitas pelabuhan yang memungkinkan kapal dapat berlabuh dengan aman dan dapat melakukan kegiatan bongkar/muat, serta menetapkan alokasi tempat tambatan dan waktu kapal bertambat dan menetapkan target produksi kegiatan bongkar/muat.

Selain itu, Pelindo juga mengawasi pelaksanaan pemakaian tambatan sesuai dengan perencanaan sebelumnya. Sesuai SK Menteri Perhubungan nomor KM.53 tahun 2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional, dalam Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa untuk mewujudkan peran pelabuhan, pelabuhan melaksanakan fungsi:

Pemerintahan:
- Pelaksana fungsi keselamatan pelayaran.
- Fungsi bea dan cukai
- Pelaksana fungsi imigrasi.
- Pelaksana fungsi karantina.
- Pelaksana fungsi keamanan dan ketertiban.

Pengusahaan jasa kepelabuhanan:
- Usaha pokok yang meliputi pelayanan kapal, barang, dan penumpang.
- Usaha penunjang yang meliputi persewaan gudang, lahan, dan lain-lain.

Adapun instansi pemerintah dan perusahaan swasta yang berperan di pelabuhan adalah sebagai berikut.
  1. Instansi Pemerintah
  2. Administrator Pelabuhan
Menurut Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM.67 Tahun 1999, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Administrasi Pelabuhan Bab I, Pasal 1 :
  1. Kantor Administrator Pelabuhan adalah unit organik di bidang keselamatan pelayaran di pelabuhan yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Pelabuhan di lingkungan Departemen Perhubungan.
  2. Kantor Administrator Pelabuhan Kelas I (Utama) berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Perhubungan Laut dan Kantor Administrator Pelabuhan lainnya berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Perhubungan.
  3. Kantor Administrator Pelabuhan dipimpin oleh seorang Kepala Kantor, Administrator Pelabuhan mempunyai tugas menyelenggarakan pemberian pelayanan keselamatan pelayaran di dalam daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan kepentingan pelabuhan untuk memperlancar angkutan laut.
Dalam melaksanakan tugas, Kantor Administrasi Pelabuhan menyelenggarakan fungsi:
  1. Penilikan kegiatan lalu-lintas angkutan laut yang meliputi kapal, penumpang, barang dan hewan serta pemantauan pelaksanaan tarif angkutan laut.
  2. Pembinaan Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) dan pemantauan pelaksanaan tarif TKBM.
  3. Penilikan terhadap pemenuhan syarat kelaiklautan kapal dan pengeluaran Surat Izin Berlayar (SIB).
  4. Pencegahan dan penanggulan pencemaran serta pemadam kebakaran di perairaa pelabuhan,
  5. Pengamanan, penertiban, dan penegakan peraturan perhubungan laut di dalam daerah lingkungan kerja pelabuhan guna menjamin kelancaran operasional di bidang pelabuhan.
  6. Pengawasan keselamatan di bidang pembangunan fasilitas dan peralatan pelabuhan, alur pelayaran dan kolam pelabuhan serta pemantauan kerja operasional pelabuhan.
  7. Pemeriksaan nautis, teknis, radio, pembangunan dan perombakan kapal serta pemberian sertifikasi.
  8. Pelaksanaan pengukuran dan status hukum kapal, serta pengurusan dokumen pelaut, penyijilan awak kapal dan perjanjian kerja laut.
  9. Pelaksanaan urusan kepegawaian, keuangan, tatausaha dan rumah tangga Kantor Administrator Pelabuhan.
Kantor Administrator Pelabuhan diklasifikasikan dalam 5 kelas, yaitu: 1) Kelas I; 2) Kelas II; 3) Kelas III; 4) Kelas IV dan 5) Kelas V. Sedangkan pembagian tugas disemua kantor Administrator Pelabuhan adalah:
  1. Bagian Tata Usaha
  2. Bidang Lalu-Lintas Laut dan Kepelabuhanan
  3. Bidang Penjagaan dan Keselamatan
  4. Bidang Kelaiklautan Kapal

Standard Bulk Cargo Liquefaction

The Standard Club’s loss prevention programme is focused on best practice to help avert claims that are avoidable. In our commitment to safety at sea, and to the prevention of accidents, casualties and pollution, the club issues a variety of safety-related publications. This edition of Standard Cargo focuses on a subject that has been highlighted by a number of bulk carrier ship sinkings: cargo liquefaction. In 2010, the majority of bulk carrier deaths were attributed to cargo liquefaction. This Standard Cargo has an emphasis on iron ore fines from India and nickel ore from Indonesia and the Philippines, but the advice in it is also applicable to other cargos susceptible to liquefaction. The issue of liquefaction affects bulk carriers of all sizes, but liquefaction can affect all ships carrying bulk ores including dry general cargo ships that load parcels of bulk cargo. Cargo liquefaction has been of concern to seafarers for over a century, and it is shocking to find it reappearing to cause loss of seafarers’ lives once more.

The carriage of bulk mineral ore has become a focal point after the recent loss in 2010 of three bulk carriers within 40 days, resulting in the deaths of 40 seafarers. The third ship lost, the Hong Wei carrying 40,000 tonnes of nickel ore, sank with the loss of 10 crew. The loss of these ships is believed to have been associated with liquefaction of the cargo, with excessively high moisture content (referred to as MC) in excess of its transportable moisture limit (commonly referred to as TML). All three ships loaded nickel ore in Indonesia. It is known that at least two other ships have had serious incidents, where the ship developed an angle of loll and had to be escorted to the discharge port or beached. There may well be other incidents that have not been reported.

There have also been recent losses of ships (two in 2009) after loading iron ore fines in India, again suffering liquefaction of the cargo. Masters, ship’s officers and chartering managers should understand the dangers of liquefaction of certain cargos – usually wet mineral ore fines, but also other cargos such as coal slurry and wet sand.

The International Association of Dry Cargo Shipowners (INTERCARGO) issued a news release calling on shipowners and cargo interests to review their testing and safety procedures in shipping such cargo (a copy of the news release can be found at www.intercargo.org). The International Group of P&I Clubs have also released circulars to their members warning of the dangers associated with the carriage of iron ore fines and nickel ore, and this can be found on the Standard Club website at www.standard-club.com/KnowledgeCentre. In 2009, two bulk carriers, the Asian Forest and the Black Rose sank while carrying iron ore fines during the monsoon season. The Indian Directorate General of Shipping (DGS) investigated the sinking’s and concluded that the cause was liquefaction as a consequence of excessive moisture in the cargo. In August 2010 the Indian DGS issued its Merchant Shipping Notice No.9 titled Safe loading, stowage, carriage and discharging of iron ore fines on ships from Indian Ports in fair and foul season (a copy of this notice can be found at www.dgshipping.com). However the notice focuses primarily on the duties of the master, when in fact the problem rests as much if not more with the shipper (and the authorities) for not complying with their legal obligation under the International Maritime Solid Bulk Cargoes (IMSBC) Code to supply the correct information, such as the moisture content, transportable moisture limit, and flow moisture point (commonly referred to as FMP).

Masters must clearly understand the whole subject, and should have the support of the company and charterer when making a decision in the interests of safety. Although the Notice issued in India deals with the ramifications of oil pollution and wreck removal as a result of ships capsizing, the issue is primarily one of seafarer safety. Loss of life resulting from cargo carriage is at stake.

The Notice however makes some important points:

  1. shipper to provide the master with appropriate cargo information as stated within the IMSBC Code, in advance of loading iron ore fines.
  2. port authority to ensure shipper provides current cargo information such as moisture content, transportable moisture limit, flow moisture point and cargo density
  3. masters to verify moisture content before loading (e.g. appointed ship’s surveyor taking cargo samples and analysing them)
  4. master to use his authority under International Convention for the Safety of Life at Sea (SOLAS) to stop loading when necessary
  5. master to report to the competent authority as well as his owner/manager and local P&I correspondent if the shipper or port terminal does not provide the proper information and is not co-operating, thereby posing a safety threat to the ship

Sunday 15 January 2012

Lowongan Kerja Teknik Perkapalan Di PT. Salam Pacific Indonesia Lines (Januari 2012)

PT Salam Pacific Indonesia Lines Merupakan Perusahaan Pelayaran Nasional membuka peluang kepada Anda berkarya dan kesempatan karir sesuai perkembangan pesat perusahaan

Superintendent
Jawa Timur

Requirements:
  1. Pria, maks 35 tahun
  2. S1 Teknik Perkapalan/Permesinan kapal 
  3. IPK min 3.00
  4. Memahami tentang mesin kapal
  5. Pengalaman minimal 1 tahun

Segera kirimkan Surat Lamaran, CV disertai foto ke alamat email :

recruitment@spil.co.id


Demikian Lowongan Kerja Teknik Perkapalan januari 2012

Wednesday 11 January 2012

Draft Muatan Kapal

Draft Muatan Kapal adalah suatu seri angka-angka yang diterakan atau dilekatkan (bisa dilas/welding atau hanya dicat saja) di lambung kapal sebelah kanan dan kiri pada bagian depan atau haluan, dibagian tengah atau midship dan dibagian belakang atau buritan, dimana angka-angka tersebut menunjukan kedalaman bagian kapal yang masuk ke dalam air laut atau sungai.

Zaman dahulu draft kapal menggunakan sistem peneraan imperial dengan satuan inchi dan angka romawi, namun saat ini telah disepakati berlakunya Metric System dengan peneraan angka latin.

Dengan draft kapal yang diterakan dalam satuan metric, draft mark diterakan dengan satuan cm (centi meter), setiap angka draft mark berseling jarak 20 cm dengan tinggi tiap-tiap angka 10 cm dan tebal angka biasanya 2 cm dan satuan berat total muatannya dalam Metric Tons, gambar dibawah adalah contoh draft mark kapal tersebut :

Untuk anda ketahui juga dalam satuan imperial, draft mark kapal diterkan dalam satuan feet atau inchi, dengan tinggi angak 6” dan lebar garis 1”, seperti gambar dibawah ini :


Cara perhitungan Draft Survey Kapal sering juga disebut metode perhitungan tidak langsung karena kita tidak dapat langsung mengetahui hasilnya sebab harus melalui beragam koreksi dengan perhitungan-perhitungan yg cukup rumit.

Urutan pekerjaan draft survey kapal adalah sebagai berikut :
  1. Membaca Draft Kapal
  2. Mengambil Berat Jenis air (Density Air) dimana kapal mengapung
  3. Menghitung deductible weight, berat barang-barang di atas kapal selain muatan.
  4. Membaca table dan data kapal yg diperlukan dalam perhitungan ini.
  5. Menghitung Draft Survey atau Draught Survey itu sendiri.

Dalam tahapan-tahapan pekerjaan tersebut diatas harus juga diperhatikan factor-faktor yg dapat menyebabkan perhitungan draft survey menjadi tidak akurat, diantara ;
  1. Faktor Cuaca, termasuk tinggi alur dan ombak diperairan tersebut.
  2. Usia Kapal
  3. Human Error, menjadi faktor paling dominan dalam kesalahan perhitungan.
  4. Kerjasama dengan crew kapal juga menentukan keakuratan perhitungan.
  5. Mempelajari dokumen kapal yg dipakai dalam perhitungan dan dapatkan informasi terkini tentang kondisi kapal tersebut, seperti Bibliography book, atau hydrostatic table dan sounding table/tank capacity curve.
  6. Dalam melakukan pengukuran cairan-cairan lain yang ada diatas kapal seperti fresh water, Ballast water, Fuel oil, diesel oil, Lubrication oil, Hydrolic oil dan lainnya harus akurat.
  7. Pastikan mengukur density air perairan dan ballast serta Density dengan teliti dan alat yg terkalibrasi, untuk density bahan bakar bias berdasarkan informasi dari tanda pengisian terakhir kali kapal tersebut.
  8. dan hal-hal non teknis
Sumber

Demikian postingan kapal cargo blog setelah sekian lama tidak posting lagi, mudah-mudahan kita dapat mengambil manfaat dari postingan Draft Muatan Kapal

Kapal Ro-Ro (Roll On - Roll Off)

 Kapal Ro-Ro adalah kapal yang bisa memuat kendaraan  yang berjalan masuk kedalam kapal dengan penggeraknya sendiri dan bisa keluar dengan sendiri juga sehingga disebut sebagai kapal roll on - roll off disingkat Ro-Ro, untuk itu kapal dilengkapi dengan pintu rampa yang dihubungkan dengan moveble bridge atau dermaga apung ke dermaga.

Gambaran yang lazim tentang kapal ro-ro adalah hampir selalu memiliki landasan yang besar di buritan, sering juga memiliki empat buah landasan, landasan tersebutditempatkan hanya pada salah satu sisinya, memiliki lambung yang tinggi dan tampak menyerupai kotak terapung, kadang-kadang memiliki fasilitas untuk kontainer di atas dek utamanya, dek utamanya bisa merupakan dek asli kapal ro-ro, memiliki kemapuan menaikkan/menurunkan muatan di dek utamanya, apabila memiliki peralatan untuk muatan, mereka memiliki krane yang sangat kuat, dan superstruktur selalu diposisikan di kanan haluan atau kanan buritan.

Beberapa kapal ro-ro memiliki kargo handling,beberapa yang lainnya tidak memiliki. Muatan mereka dapat dipindahkan dari palka dan tweendecknya melalui landasan yang direndahkan di dermaga. Muatan dapat dimuat melalui landasan tersebut dengan forklift atau trailer/pengangkut muatan lainnya yang biasanya lebih dari satu trailer yang bersamaan. Disuatu saat muatan dipindahkan diantara tweendeck baik menggunakan
landasan maupun forklift.

Ketika kapal memiliki ukuran lebih kecil dibandingkan Panamax, beberapa dari mereka memuat 100 truk pada dek utamanya. Kapal tersebuut seperti lapangan parkir berlayar. Pada ukuran yang besar terdapat landasan. Landasan ini penting sekali dalam menyumbang pendapatan kapal ini.

Banyak kapal ro-ro seperti kapal baru ini yaitu Taronga dengan bobot mati 39000 ton dilengkapi pula dengan peralatan untuk memuat general kargo sebaik memuat kontainer. Kapal ini dapat dengan cepat mengubah peranannya dengan mengambil/memindahkan tweendeknya dengan alat-alatnya sendiri.

Monday 9 January 2012

Draft International Maritime Solid Bulk Cargoes (IMSBC CODE)

Draft International Maritime Solid Bulk Cargoes (IMSBC CODE) Content :

  1. Section 1 General provisions and definitions
  2. Section 2 General loading, carriage and unloading precautions
  3. Section 3 Safety of personnel and ship
  4. Section 4 Assessment of acceptability of consignments for safe shipment
  5. Section 5 Trimming procedures
  6. Section 6 Methods of determining angle of repose
  7. Section 7 Cargoes that may liquefy
  8. Section 8 Test procedures for cargoes that may liquefy
  9. Section 9 Materials possessing chemical hazards
  10. Section 10 Carriage of solid bulk wastes
  11. Section 11 Security provisions
  12. Section 12 Stowage factor conversion tables
  13. Section 13 References
  1. Appendix 1 Individual schedules of solid bulk cargoes
  2. Appendix 2 Laboratory test procedures, associated apparatus and standards
  3. Appendix 3 Properties of solid bulk cargoes
  4. Appendix 4 Index of solid bulk cargoes

The International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 (SOLAS Convention), as amended, deals with various aspects of maritime safety and contains, in parts A and B of chapter VI and part B of chapter VII, the mandatory provisions governing the carriage of solid bulk cargoes and the carriage of dangerous goods in solid form in bulk, respectively. These provisions are amplified in the International Maritime Solid Bulk Cargoes Code (IMSBC Code).

Detailed fire protection arrangements for ships carrying solid bulk cargoes are incorporated into chapter II-2 of the SOLAS Convention by regulations 10 and 19. Attention is drawn to regulation II-2/19.4 (or II-2/54.3) of the SOLAS Convention as amended. This provides for an appropriate document as evidence of compliance of construction and equipment with the requirements of regulation II-2/19 (or II.2/54) to be issued to ships carrying dangerous goods in solid form in bulk, as defined in regulation VII/7 of the Convention, except class 6.2 and class 7, which are:

  • Cargo ships of 500 gross tonnage or over constructed on or after 1 September 1984; or
  • Cargo ships of less than 500 gross tonnage constructed on or after 1 February 1992.
The IMSBC Code that was adopted by resolution [MSC.xx(85)] was recommended to Governments for adoption or for use as the basis for national regulations in pursuance of their obligations under regulation of the SOLAS Convention, as amended. The Code is mandatory under the provision of the SOLAS Convention from [date of entry into force]. However, some parts of the Code continue to be recommendatory or informative. It needs to be emphasized that, in the context of the language of the Code: the words “shall”, “should” and “may”, when used in the Code, mean that the relevant provisions are “mandatory”, “recommendatory” and “optional”, respectively. Observance of the Code harmonizes the practices and procedures to be followed and the appropriate precautions to be taken in the loading, trimming, carriage and discharge of solid bulk cargoes when transported by sea, ensuring compliance with the mandatory provisions of the SOLAS Convention.

The Code has undergone many changes, both in layout and content, in order to keep pace with the expansion and progress of industry. Maritime Safety Committee (MSC) is authorized by the Organization’s Assembly to adopt amendments to the Code, thus enabling the IMO to respond promptly to developments in transport.

The MSC at its eighty-fifth session agreed that, in order to facilitate the safe transport of solid bulk cargoes, the provisions of the Code may be applied from 1 January 2009 on a voluntary basis, pending their official entry into force on 1 January 2011 without any transitional period. This is described in resolution [MSC.xx(85)].